loading...
loading...

MENEPUK PUNGGUNG SI PENDAKI BUKAN MUHRIM DARI GUNUNG SUMBING



Cerita dari Sumbing

 Minggu ini ada sebuah cerita yang cukup menggelitik dan sedang ramai menjadi bahan perbincangan, utamanya di sosial media facebook dan group group pendaki gunung nusantara.
Cerita ini datang dari lintasan gunung Sumbing di jalur Garung, Jawa Tengah, sebuah cerita yang sedikit banyak menyedot perhatian, cemoohan dan juga cibiran dari banyak orang yang membacanya. 

Namun saya menulis artikel khusus ini bukan dengan kepentingan untuk menambah cemoohan dan bullyan untuk si pemilik cerita, sebagai sesama pendaki gunung, dan juga sebagai sesama muslim, saya pikir tidak ada salahnya jika saya pun ikut menyampaikan pendapat dan pandangan saya mengenai hal ini. karena cerita ini lahir dan berkembang juga sangat berhubungan erat dengan salah satu aturan dalam agama islam mengenai muhrim atau mahram.

Awal dari cerita ini adalah ketika seorang pendaki perempuan di jalur Garung gunung Sumbing dikabarkan membutuhkan evakuasi segera dikarenakan kondisinya yang tidak mungkin lagi untuk melakukan pendakian dan perjalanan turun secara mandiri, pendaki kemungkinan besar mengalami kelelahan yang berlebihan, sehingga teman temanya mengontak tim reaksi cepat tanggap gunung Sumbing Sindoro untuk mengevakuasinya.

Setelah tim evakuasi tiba dilokasi sang pendaki, akan tetapi tiba tiba si pendaki perempuan ini menolak untuk dievakuasi, hebatnya lagi penolakan ini dilandasi dengan alasan yang cukup mengagetkan, ia tidak mau disentuh oleh orang yang bukan muhrimnya, padahal diketahui saat itu ia mendaki bersama pacarnya, ironi sekali.

Saya secara pribadi tidak begitu bisa memverifikasi apakah ceritanya persis seperti itu, ataukah ada sedikit perbedaan pada kejadian sebenarnya. Namun dalam menulis artikel sederhana ini saya beranggapan bahwa kabarnya persis seperti cerita tersebut, sehingga respon dan arah dari tulisan ini nanti tidak akan merembet ke hal hal yang lebih luas dan tidak perlu.

Jika orang lain salah, tidak otomatis menjadikan kita benar

Mahram atau muhrim, secara sederhana dapat diartikan sebagai seseorang yang haram atau tidak boleh untuk dinikahi, karena memiliki hubungan persaudaraan dan darah. Mahram seorang perempuan termasuk adalah ayahnya, anak laki lakinya, saudara laki lakinya, pamannya, dan lain lain, sesuai yang dijelaskan dalam banyak kitab fiqih dan juga Al quran.

Bagi seorang muslim, istilah muhrim, atau mahram tentu bukanlah suatu hal yang asing untuk didengar, bahkan dewasa ini, istilah muhrim tidak hanya populer di intern kaum muslimin semata, beberapa golongan luar di tanah air juga tidak asing lagi dengan istilah ini, mereka sering menggunakannya, terlepas dari apa tujuan mereka mengambil istilah muhrim, entah itu sebagai bahan lelucon, ejekan, meme, atau sindiran dan lainnya, yang jelas paling tidak istilah dan pengertian muhrim telah akrab ditelinga mereka.

Kembali ke cerita dari gunung Sumbing tadi,

Jika cerita ini memang benar, memang terasa agak membuat jengah banyak orang tentang apa yang dilakukan si pendaki perempuan ini, menolak disentuh tim evakuasi dengan alasan bukan muhrim, sementara ia jauh jauh keluar dari rumahnya, mendaki hingga ke Pasar Setan gunung Sumbing, bersama dengan pacarnya yang notabene jelas jelas bukan muhrim baginya.

Selain sangat bukan mahram, status pacar juga memiliki banyak konotasi tidak mulia lainnya, kita tak perlu menjelaskan secara terperinci apa saja yang biasa dilakukan oleh orang dengan status berpacaran.

Mau tidak mau, terima ataupun tidak, tindakan inkonsistensi dari si pendaki perempuan dari gunung Sumbing ini menuai ejekan dan cibiran, mau bagaimana lagi, hal itu memang menjadi buah yang harus ia tuai dari ucapan dan perbuatannya yang bertolak belakang.

Namun hal yang semestinya menjadi perhatian kita pula, utamanya para pengguna aktif sosial media semacam facebook, istagram, twitter dan lainnya, khususnya lagi untuk orang orang yang menaruh minat dan respect pada olahraga mendaki gunung. Hendaknya kejadian dan dilematis yang terjadi di gunung Sumbing ini, tidak menjadikan lidah dan tangan kita lepas control, sehingga melepaskan ejekan, sindiran, dan cemoohan secara berlebihan. Kesalahan dan aib yang dilakukan oleh seseorang, kemudian itu terekspose ke publik dan kemudian ia jadi bulan bulanan bahan ejekan, sama sekali tidak akan menjadikan yang mengejek sebagai orang yang lebih baik, lebih bersih dan tanpa cacat. 

Jadi sebaiknya kita memang tidak terlampau berlebihan dalam menyikapi kejadian dari gunung Sumbing ini.


Mendaki ditemani muhrim, dengan mendaki ditemani pacar, adalah dua hal yang berbeda.


Open mind dan menepuk punggung

Dalam berbagai tulisan sering saya katakan, jenis olahraga mendaki gunung, adalah sebuah jenis pilihan aktivitas yang masuk ranah berbahaya, ia tidak sama dengan main catur atau main karambol, ada seperangkat bahaya dan resiko yang mengancam nyawa dalam kegiatan mendaki gunung. Jadi, ketika seseorang telah membulatkan tekad untuk menjadikan mendaki gunung sebagai pilihan aktifitasnya, semestinya ia juga telah sadar sepenuhnya, bahwa kegiatan pilihannya tersebut bisa saja membahayakan nyawa dan keselamatannya.

Yang telah mempersiapkan diri dengan baik saja kadang masih tidak luput dari bahaya dan celaka saat mendaki gunung, apatah lagi orang orang yang sama sekali tak memiliki persiapan dan kesiapan serius saat melakoninya. 

Pada hakikatnya memang sebaiknya setiap wanita muslim yang keluar rumahnya, apalagi melakukan kegiatan seperti pendakian gunung,  mestilah ditemani oleh seseorang yang menjadi mahramnya, selain sebagai bentuk penjagaan, hal ini juga dapat menjadi upaya maksimal akan kehati- hatian sang pendaki yang mungkin ingin memegang teguh konsep islam secara penuh dan total.

Namun mendaki gunung dengan syarat harus ditemani dengan mahram tentu bukan perkara yang gampang. Di tengah demam mendaki gunung dan ber-adventure ria seperti saat ini, beberapa orang tentu merasa terkekang jika kemana mana harus ditemani muhrimnya, meskipun itu adalah sikap dan dan cara paling sempurna, namun itu jelas tidak mudah, dan akan lebih banyak orang yang tak berupaya mentaatinya.

Lantas bagaimana jalan keluarnya..?

Sebagai muslim, kita tahu untuk masalah hukum islam adalah bukan sesuatu yang bisa diajak tawar menawar, hanya saja dikenal adanya ruksah atau keringanan. jadi jika si pendaki perempuan ini sungguh sungguh khawatir dengan bahaya dan dampak dari interaksi bukan muhrim, sungguh sungguh ingin menjaga dirinya dari perkara dan urusan semacam itu, tentu yang terbaik baginya adalah tidak naik gunung, jika memang tidak ada mahram yang bisa menemaninya.

Itu pilihan utama dan itu paling aman.

Lalu pilihan keduanya apa.. ?, pilihan keduanya adalah tentu si pendaki perempuan harus lebih menyadari konsep konsep bertualang di alam bebas secara menyeluruh lagi, juga setidaknya memahami pula kaidah kaidah hukum fikih dalam keadaan darurat, selalu ada keringanan atau ruksah dalam setiap keadaan yang sulit, memahami bahwa islam adalah jalan hidup mulia yang sama sekali bukan mempersulit manusia, namun malah membuatnya lebih mudah dan teratur. 

Si pendaki perempuan ini juga harus mempersiapkan diri dengan baik sebelum melakukan pendakian gunung, baik itu fisik maupun mentalitasnya. Namun jika segala sesuatunya tidak berjalan lancar, maka seyogyanya ia pun mestilah bersiap, akan ada tindakan evakuasi dan pertolongan, yang tentu hal tersebut kemungkinan besar berasal dari orang orang yang bukan muhrimnya.


Persiapkan diri dengan baik sebelum melakukan pandakian, siapapun saja partner mendaki anda

Dalam menyikapi hal semacam ini dibutuhkan pikiran yang terbuka dan berorientasi kepada kemanusiaan, tentu sangat dibutuhkan pengertian dari sang pendaki perempuan ini, bahwa para volunteer yang berjibaku untuk menolong dirinya, sama sekali bukan orang yang memiliki maksud cabul dan keji, apa yang para volunteer dan tim SAR lakukan adalah sebuah upaya kemanusiaan, guna melakukan pencegahan terhadap potensi bahaya yang lebih besar lagi.

Akhirnya semoga kita bisa memetik pelajaran dan ibrah dari kejadian di gunung Sumbing ini. 

Terpenting lagi ini dapat menjadi catatan dan imbauan keras untuk orang orang yang mungkin masih memiliki pemikiran sempit dan terkotak diatas ketinggian, bahwa upaya kemanusiaan untuk sebuah tugas penyelamatan, memiliki sebuah kelas yang sifatnya urgent dan prioritas, islam sangat memahami hal tersebut, dan tentunya memberikan kelonggaran dan kemudahan dalam penerapan syariatnya.

Dan kemudian, jika ditemui hal semacam ini kembali di lain kesempatan, perdebatan mengenai mahram saat proses evakuasi pendaki gunung, terutama berhadapan dengan orang orang yang memiliki pemikiran “kaku” dan sikap inkonsisten seperti pendaki dari gunung Sumbing tempo hari, maka mungkin seseorang perlu menepuk punggungnya dan berkata ;

“… Tidak mendaki gunung adalah jalan yang paling aman jika tanpa mahram, kalau pun tetap nekad untuk mendaki gunung, yakinkan jangan sampai cidera hingga membutuhkan bantuan tim SAR. Dan yang paling penting, pastikan yang diajak mendaki adalah benar benar muhrim, bukan pacar, karena pacar setahu saya tidak termasuk dalam daftar seorang yang mahram…”.


Posted By : Anton sujarwo






Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MENEPUK PUNGGUNG SI PENDAKI BUKAN MUHRIM DARI GUNUNG SUMBING"

Post a Comment