SALAM RIMBA….
Shelter3indonesia - Untuk orang-orang yang menghargai hidup dengan bertualang mempertaruhkan hidup.
“Allah telah menjadikan bumi terhampar luas untukmu, agar kamu dengan bebas meniti jalan-jalan yang terbentang di bumi” (Al Quran Surat Nuh: 19-20)
“….Gunung-gunungpun Ia pancangkan, untuk kesenanganmu……….” (Al Quran Surat An Naazi’aat: 32)
“Kamilah yang menghamparkan bumi, dan kami pula yang menegakkan gunung-gunung, serta menumbuhkan segalanya dengan imbang” (Al Quran Surat Al Hijr: 19)
“Allah menjadikan sebagian ciptaanNya sebagai tempat bernaung untukmu, dan menjadikan gunung-gunung sebagai tempat berlindung….” (Al Quran surat An Nahl: 81)
“Dialah yang membentangkan bumi dan menciptakan gunung-gunung dan sungai-sungai disana. Dia menjadikan semua jenis buah-buahan, masing-masing berpasangan. Dia pulalah yang menutupkan malam pada siang. Sungguh, dalam semua itu terdapat ayat-ayat kebesaranNya bagi kaum yang mau berpikir” (Al Quran Surat ar Ra’ad: 3)
“Katakanlah: Berjalanlah di muka bumi!”
(Petikan dari buku “La Tahzan” karya DR. Aidh Al-Qarni)
Di antara perkara yang dapat melapangkan dada dan meleyapkan awan kesedihan dan kesusahan adalah berjalan menjelajah negeri dan membaca “buku penciptaan” yang terbuka lebar ini untuk menyaksikan bagaimana pena-pena kekuasaan menuliskan tanda-tanda keindahan di atas lembaran-lembaran kehidupan. Betapa tidak, karena anda akan banyak menyaksikan taman, kebun, sawah dan bukit-bukit hijau yang indah mempesona.
Keluarlah dari rumah, lalu perhatikan apa yang ada di sekitar Anda, di depan mata anda, dan di belakang Anda! Dakilah gunung-gunung, jamalah tanah di lembah-lembah, panjatlah batang-batang pepohonan, reguklah air yang jernih, dan ciumkan hidungmu di atas bunga mawar! Pada saat-saat yang demikian itu, Anda akan menemukan jiwa Anda benar-benar merdeka dan bebas seperti burung yang berkicau melafalkan tasbih di angkasa kebahagiaan. Keluarlah dari rumah Anda, tutup kedua mata Anda dengan kain hitam, kemudian berjalanlah di bumi Allah yang sangat luas ini dengan senantiasa berdzikir dan bertasbih.
Marilah sekali-kali kita membaca Al-Qur’an di tepi-tepi sungai, di pinggiran hutan yang rimbun, di antara burung-burung yang sedang berkicau membaca untaian puisi cinta, atau di depan gemericik aliran air sungai yang sedang mengisahkan perjalanannya dari hulu ke hilir. Marilah sesekali kita berjalan menjelajah pelosok negeri untuk mencari ketenangan, bergembira, berpikir, dan sekaligus menghayati ciptaan Allah yang sangat luas ini.
(Dan, mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):”Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau”)
(Al Quran surat Ali Imran: 191)
Mendaki gunung pada awalnya merupakan sebuah kegiatan yang harus dilakukan oleh seseorang untuk sebuah keperluan tertentu, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.
Memasuki masa neo klasik, yakni pada masa penjajahan. Kegiatan mendaki gunung memiliki tujuan Tertentu. Seorang ahli geologi berkebangsaan Belanda bernama Clignet (1838).
Diketahui sebagai orang pertama yang mendaki gunung Semeru (Jawa Timur) dengan tujuan untuk penelitian struktur tanah dan kemudian dilanjutkan oleh ahli botani Junhuhn (1945) yang mendaki gunung Semeru untuk meneliti jenis-jenis tumbuhan berdasarkan ketinggian.
Pada masa yang sama, bangsa Indonesia mendaki gunung untuk keperluan taktik perang. Panglima Jendral Sudirman dan para prajuritnya mendaki gunung dan perbukitan di daerah jawa tengah untuk menjalankan taktik perang gerilya melawan Belanda, demikian pula Pahlawan Supriadi memimpin pasukan gerilya dengan menjelajahi kawasan gunung kelud di sekitar daerah Blitar-jawa timur.
Konon bangsa Belanda juga turut mendaki gunung Argopuro untuk membuat landasan pesawat terbang di lereng gunung Argopuro guna mengangkut hasil pengalengan daging rusa (sekarang Cikasur). Dari sini kita bisa melihat tujuan dari mendaki gunung menjadi semakin beragam.
Kemudian, kegiatan mendaki gunung sudah berubah menjadi kegiatan yang bertujuan untuk hobi atau kesenangan diri sendiri. Para pendaki gunung telah memiliki tujuan yang lebih beragam lagi, yakni ingin menjadi orang pertama yang menjejakkan kaki di puncak-puncak gunung yang masih perawan. Mendaki gunung sudah berubah tujuannya, yakni untuk ‘kemasyuran’. Mengapa mereka gila akan puncak gunung?
Pada awalanya mencapai puncak gunung merupakan kepuasan pribadi yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, sama halnya dengan kenikmatan penulis ketika berhasil membius para pembacanya, atau kenikmatan seorang seniman ketika berhasil menyelesaikan karyanya dan kemudian diapresiasi oleh pengamat.
Coba kita bandingkan saat ini. Betapa banyaknya pendaki yang melakukan ekspedisi mendaki gunung, baik secara solo atau tim hanya untuk menggapai puncak atau mengoleksi puncak-puncak gunung ternama demi mencari popularitas atau menambah image pribadi.
Kenyataannya, ekspedisi-ekspedisi tersebut hanya seperti kegiatan yang sepintas lalu saja, setelah ekspedisi selesai, tak pernah lagi dibicarakan oleh orang lain, dibahas untuk ilmu pengetahuan, apalagi untuk dikenang.
Meskipun akhirnya para pendaki yang “haus gengsi”ini harus bersikap “Vandalis” agar orang lain mengenalnya dengan cara mencoretkan namanya diantara batu-batu, pohon-pohon atau papan peringatan, tetapi ternyata sebenarnya justru mereka sedang merusak namanya sendiri.
Jadi, kegiatan mendaki gunung kini memiliki tujuan yang lebih beragam lagi, yakni prestise atau image. Dimana para pendaki berlomba untuk mencapai atau mengoleksi puncak gunung demi keperluan gengsi atau untuk mengangkat prestasi dan menjadi lebih dikenal.
Hal itu menjadi sangat ironis sekali dengan nama mereka “PECINTA ALAM” yang notabene sebagai kaum yang mencintai alam tetapi pada kenyataannya tidak ada sama sekali kegiatan untuk melestarikan alam, yang nampak hanyalah sejumlah ekspedisi-ekspedisi sekedar mencapai puncak gunung saja bukan ekspedisi untuk keperluan penelitian, bersih-bersih gunung dari sampah atau ekspedisi penghijauan hutan dsb. Dan yang lebih menyedihkan lagi, banyak yang tidak mengetahui atau bahkan melupakan nilai-nilai berharga yang bisa diambil dari kegiatan mendaki gunung.
Untuk itu kita perlu mengkaji kembali tentang hakikat mendaki gunung yang selama ini telah diabaikan, mengapa kita mendaki gunung, untuk apa serta bagaimana mendaki gunung dan menjadi Pecinta Alam yang lebih baik ? Karena itu kita perlu kembali mempertanyakan tujuan kita mendaki gunung, salah satunya yakni dengan mempelajari filosofi mendaki gunung.
#salamlestari
0 Response to "Untuk Para Pendaki, Pecinta Alam, dan Petualang"
Post a Comment