Shelter3 - Saya sangat yakin kalau suatu ketika ada pertanyaan dari sebuah kata “GURU”, pasti kebanyakan dari kita akan menjawab adalah Bapak dan Ibu Guru kita sejak dari Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, SMP dan SMU serta dosen-dosen kita di bangku kuliah ( Perguruan Tinggi). Itu semuanya amatlah benar, tidak ada satu pun yang salah. Karena memang dari mereka semuanyalah kita belajar, berguru dan mencari dan mendapatkan berbagai macam ilmu dan pengetahuan. Kesemuanya itu adalah perjalanan proses pendidikan formal yang kita dapatkan di dalam kelas ( sekolah dan kampus).
Namun pernahkah kita belajar dan berguru pada alam sekitar kita???...
“Pendaki gunung itu secara disadari/ dipahami atau tidak sejatinya adalah orang-orang yang telah berguru pada alam.Guru yang langsung diciptakan oleh Tuhan untuk mengajarkan segala sesuatu kepada kita. Jadi bisa dibilang, orang-orang yang berguru pada alam itu sesungguhnya telah berguru pada sang *Guru Sejati* dia adalah Sang Guru yang selalu lebih banyak memberi dan tak pernah meminta ( gaji, honor, tunjangan jabatan & fungsional, THR, insentif , jatah beras, hak pensiun jaminan hari tua dll). Dan yang lebih dahsyatnya Guru Sejati akan hidup sepanjang masa hingga terompet akhir kehidupan ditiupkan Malaikat.
Karena seluruh ilmu yang unlimited inui (tiada batasnya) bersumber dari Tuhan Yang Maha Kuasa maka alam sekitar adalah sebagai medianya( silabus, kisi-kisi dan catalog). Dalam Perspektif agama Islam, diriwayatkan dalam Al-Qura'n bahwa Nabi Musa AS saja harus mendaki gunung Sinai dan meninggalkan kaumnya dalam waktu yang cukup lama, untuk mendapatkan * TEN COMMANDMENTS OF GOD * (sepuluh perintah Tuhan) langsung dari Allah SWT . Contoh lainnya adalah Nabi Muhammad SAW pun mesti mendaki gunung (jabal) dan tinggal di Gua Hira untuk sekedar menyendiri sebelum akhirnya menerima wahyu yang pertama yakni surah Al-Alaq ayat 1-5.. Demikian pula para Empu atau ‘Resi’ ( Hindu & Budha ) yang harus mendaki gunung untuk bertapa sampai pada akhirnya mendapatkan “spiritual enlightenment” ( pencerahan spiritual) berupa ilmu atau kanuragan/kesaktian.
Namun bukanlah berarti kita harus menjadi atau setara seperti para nabi atau empu, paling tidak minimal saat ketika kita berniat untuk mendaki gunung selalu ada tujuan yang pasti, meskipun tujuan yangpaling rendah sekalipun yakni sekedar hobi. Bukankah menyalurkan hobi itu adalah tindakan positif yang banyak sekali manfaatnya untuk tubuh dan jiwa…?
Jujur diakui bahwa Saya suka mendaki gunung berawal dari ketidak tahuan sama sekali tentang gunung ( 43 tahun yang lalu waktu umuku 10 tahun) namun daya tarik gunung yang aku daki pertama kali bagaikan magnit yang membuatku jatuh hati dan baru dalam taraf menjadi sekedar hobi saja… Namun dengan seiring berjalannya waktu dan usia ternyata melalui hobby mendaki gunung ini Alhamdulillah saya bisa memperkaya pengalaman, belajar dan terus belajar ( sampai sekarang ini) serta mengenal serta memahami alam semesta ini secara lebih dekat lagi dengan keaslian serta keunikannya yang demikian indah tanpa dipolesi aksesoris atau ornament-ornamen buatan manusia, semua elemen-elemen nya ini seluruhnya merupakan karya masterpiece nan penuh dengan beragam keajaiban, aneka pesona keindahan yang semuanya diberikan gratis dari Sang Arsiteknya yakni Sang Pemilik Kehidupan ( Allah Rabbil Allamin, Tuhan Semesta Alam) yang dianugrahkan atau dihadiahkan bagi semua mahluknya secara percuma alias gratis pol tidak hanya kepada manusia saja.
Nikmat-nikmat lain yang saya peroleh dari berguru pada alam semesta adalah pertama yakni kondisi serta stamina tubuh saya Alhamdulillah lebih sering sehatnya meskipun adakalanya diberikan penyakit ringan oleh Allah ( nikmat sehat fisik). Dan yang Nikmat yang kedua (ini yang paling penting), adalah semakin besar keyakinan di dalam hati Bahwa Tuhan itu Maha Besar, Maha Indah, Maha Sempurna, Maha Pengasih dan Maha Penyayang (nikmat sehat ruhani/ bathiniah).
Karena berawal dari kebutaan sama sekali tentang gunung,tentang alam dan lingkungan ternyata Tuhan mempertemukan ku dengan 2 orang yang sangat berarti dalam proses belajar ku tentang alam semesta ini. Dari seorang bapak penduduk desa dawuhan ( cibodas, pacet jabar) yang sekilas sangat polos dan sederhana mengenai gunung gede, tapi dibalik kepolosan beliau, ternyata mengandung kekayaan ilmu praktikan dalam menempuh sebuah perjalanan, pengetahuan navigasi, jungle survival, aklimatisasi dll dari beliau. Bapak ini akrab ku panggil dengan nama “Pak Yani* Beliau kemudian hari menjadi bapak angkatku yang pertama.
Selain dari pak Yani, di awal tahun 1979 aku secara kebetulan bertemu dengan seorang bapak juga ( namun usianya lebih muda dari pak Yani) yang sedang sibuk menggambar design ( rancang bangun ) di pintu masuk lama G. Gede-Pangrango di Cibodas. Bapak ini bernama Andi Koharuddin. Yang kemudian hari pada waktu G. Gede-Pangrango ditetapkan sebagai 10 Taman Nasional Pertama di Indonesia pada tahun 1980, pak Kohar (demikian nama akrab beliau) adalah Kepala Seksi Perlindungan & Pemanfaatan yang pertama di TNGGP. Sebelum bertugas di TNGGP , pak Kohar lama bertugas di Taman Nasional Ujung Kulon. Dari Pak Kohar lah aku banyak diberikan banyak sekali pembelajaran tentang Vulkanologi, pertaman nasionalan, konservasi, flora, fauna, menangkap makna dan menghadapi kehidupan dengan penuh optimisme dan masih banyak lagi. Dan Pak Kohar mengangkat ku sebagai Anak Asuhnya..
Selain itu dengan mendaki gunung, paling tidak kita akan mampu mengetahui dan menyadari bahwa esksistensi kita hanyalah sedikit lebih lumayan dari seekor semut yang merayap lambat di tengah luasnya belantara. Kita hanyalah mahluk yang fakir, yang fana dan tak berdaya jika berada di alam bebas, tidur di atas tanah, minum air mentah, berlindung dari dinginnya udara, tak berdaya di tengah kebalnya kabut atau tak berkutik jika tersesat dan kehabisan bekal. Itulah kita, manusiayang sebenarnya, tak berdaya di tengah alam, apalagi untuk melawannya. Maka sesungguhnya sadarilah bahwa kita sangat tidak layak menjadi arogan/ angkuh, karena yang kita sombongkan itu selama ini hanyalah bersifat fatamorgana atau semu saja, melawan alam saja kita tidak berdaya apalagi melawan kekuasaan Sang Pencipta Alam semesta. Demikianlah alam akan mengajarkan secara langsungkepada kita keanekaragaman ilmu yang tidak diperoleh di bangku sekolah atau kuliah. Yakni ilmu tentang *Hakikat Diri Dan Ilmu Menghadapi Kehidupan dengan rasa syukur pada Tuhan *.
Menurut hemat saya sebenarnya tak ada pendaki yang mati di gunung, mati sia-sia. Mereka hanyalah manusia biasa yang telah berjuang maksimal dan pantang menyerah untuk menemukan keberanian dalam menghargai hidup baik mereka sadari atau tidak.
Jikapun ada peristiwa Pendaki yang tewas ketika mendaki gunung, namun kematiannya itu bukanlah hasil akhir dari sebuah hukum causalitas, musibah itu sesungguhnya adalah sebuah hikmah dari sebuah perjuangan menemukan keberanian menghargai kehidupan dengan mempertaruhkan dan memperjuangkan hidup itu sendiri.
Selain itu dari peristiwa yang menyedihkan tersebut maka diharapkan dapat dipetik berbagai pelajaran buat semua pendaki gunung yang masih hidup agar peristiwa ini tidak dialami oleh pendaki-pendaki lainnya meskipun kenyataannya masih saja memakan korban-korbang yang baru lagi….Sungguh hal seperti ini hanya bisa difahami oleh orang-orang yang memiliki kebesaran hati untuk menghargai orang lain, menghargai & menghormati alam dan lingkungan hidup dengan selalu mensyukuri nikmat Tuhan yang paling besar, yakni hidup yang sehat lahir dan bathin”. Wallahu alam Bissawab
#salamlestari
Posted by : Estepe(Estitikaetikapendaki)
0 Response to "GURU SEJATIKU ADALAH "ALAM SEMESTA""
Post a Comment