loading...
loading...

HIPOKSIA


Shelter3 - Mendaki gunung adalah sebuah kombinasi yang harmonis dan unik sekaligus menyenangkan antara hal menyalurkan hobi berpetualang di alam bebas di satu sisi dengan olahraga dan olahrohani di sisi yang lain , walau segala penghalang kerap menjadi batu sandungan dalam kegiatan tersebut. Namun yang harus selalu kita ingat adalah banyak halang rintang, hambatan, bahaya dan resiko yang kerap mengancam keselamatan kondisi jamasni phisik dan rohani (psikis) kita.

seandainya kita tidak peka, tidak cermat dan cepat tanggap dalam mengkondisikan kemampuan dan kesehatan raga dan faktor ketenangan kejiwaan kita sendiri. Dari berbagai resiko tersebut ada satu penyakit yang bisa menimpa para penggiat alam bebas pendakian gunung, yakni *HIPOKSIA* , karena pada hakikatnya Mendaki gunung tentu akan menempatkan tubuh kita akan dominan dan sering berada di atas ketinggian yang ekstrim. Berada di ketinggian tentu akan mudah memicu hipoksia karena terbatasnya oksigen.

Dari beberapa pengamatan dan data-data evaluasi pada kasus-kasus kecelakaan di gunung ada dua faktor yang sering terjadi. Pertama, efek hipoksia ( kekurangan oksigen ) pada tubuh. Kedua, efek fisik dari ketinggian dari permukaan laut, seperti suhu dan radiasi ultraviolet. Tapi, hal yang terakhir ini jarang terjadi pada pendaki gunung. Kecuali misalnya kekurangan energi ( makan yang cukup ), kedinginan, kecelakaan yang mengakibatkan benturan dan pendarahan yang hebat.

PROSES GEJALA HIPOKSIA :

Proses hipoksia timbul secara perlahan. Bahkan sering terjadi seorang pendaki gunung yang terlalu lama dalam perjalanan pendakian (ekspedisi pegunungan) , sesampainya di rumah ternyata tubuhnya tidak bisa atau sulit menerima perubahan suhu (RE-ADAPTASI) . Hipoksia yang terjadi berjalan agak lama. Tentu saja hal ini akan mengganggu proses pernapasan yang dilakukan paru - paru..

JADI MAKHLUK APAKAH HIPOKSIA ITU???

Berdasarkan sejumlah literatur kedokteran, hipoksia adalah kondisi gejala kekurangan oksigen pada jaringan tubuh yang terjadi akibat pengaruh perbedaan ketinggian. Semakin tinggi suatu tempat dari permukaan laut, kadar oksigen yang terkandung di dalam udara semakin tipis. Kerja organ tubuh terutama sistem pernafasan yang membutuhkan pasokan oksigen akan lebih banyak.

Berdasarkan beberapa penelitian medis (ilmu kedokteran) dapatlah dijelaskan bahwa sebenarnya keseimbangan tubuh manusia selalu dijaga dan diatur oleh system kardiovaskuler (system jantung) dan system pernafasan. Kondisi hipoksia terjadi jika kita mengalami kerusakan pada sistem jantung, pembuluh darah dan sistem pernafasan,
Selain berada di ketinggian, berada di ruangan tertutup tanpa sirkulasi udara yang baik, atau di ruangan yang bersirkulasi udara baik tetapi dipenuhi asap rokok juga bisa menyebabkan gangguan hipoksia.

Dalam sebuah Penelitian desertasi doktor seorang ahli penyakit dalam membuktikan bahwa kondisi hipoksia menyebabkan terjadinya luka pada lambung berupa terjadinya ulkus. Gangguan yang terjadi pada organ akibat hipoksia dijelaskan baik secara kelainan organ melalui pemeriksaan histopatologi baik secara langsung maupun pemeriksaan imunohistokimia.

Untuk itu para pendaki gunung harus mengenali tanda - tandanya, serta cara mengatasi jika mengalami kondisi tersebut. Tanda - tanda hipoksia atau kekurangan oksigen antara lain pandangan kabur, pernapasan makin cepat atau tersengal -sengal, serta tubuh menjadi lemas.

Frekuensi pernapasan yang meningkat terjadi karena tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen. Tidak hanya memaksa paru - paru bekerja lebih keras, kondisi ini juga mempengaruhi jantung yang harus bekerja keras memompa oksigen dalam darah yang hanya sedikit itu untuk didistribusikan ke seluruh tubuh.

Selain dari gejala fisik, kondisi Hipoksia juga bisa dikenali dari perubahan perilaku. Dalam kondisi hipoksia, otak juga akan kekurangan oksigen sehingga pola pikir seorang pendaki berubah menjadi kacau dan sulit membuat keputusan yang tepat.

Dalam keadaan hipoksia, yang dominan hanya emosi dan ini sangat mempengaruhi pengambilan keputusan. Makanya para pendaki sering tersesat, salah satunya karena otak tidak mendapatkan oksigen yang cukup untuk bisa bekerja dengan baik.

LEVEL (TINGKAT) KEPARAHAN HIPOKSIA :

1. HIPOKSIA FULMINAN :

Adalah sebuah kondisi saat dimana terjadi pernapasan yang sangat cepat. Paru - paru menghirup udara tanpa adanya udara bersih ( oksigen ). Sering dalam waktu satu menit akan jatuh pingsan.

2. HIPOKSIA AKUT :

Terjadi pada udara yang tertutup akibat keracunan karbon monoksida. Misalnya, seorang pendaki gunung tiba - tiba panik takkala udara belerang datang menyergap. Udara bersih tergantikan gas racun, akhirnya paru - paru tak kuasa menyedot udara bersih. Mendadak ia pingsan.

HIPOKSIA DAPAT DIHINDARI/DICEGAH DAN DITOLONG :

Hipoksia sebenarnya dapat dihindari oleh para pendaki gunung atau siapapun juga., Para pendaki gunung yang berpengalaman biasanya telah melakukan adaptasi dengan ketinggian. Namun untuk orang yang memiliki permasalahan pada pembuluh darahnya baik pada pembuluh darah otak maupun pembuluh darah jantung, hipoksia akan menyebabkan jantung akan mengalami iskemia (kekurangan oksigen) bahkan sampai terjadinya infark (kematian jaringan). 

Begitu pula pada orang yang sudah mempunyai permasalahan pembuluh darah otak maka kekurangan oksigen juga akan lebih memperburuk penurunan oksigen pada otak sehingga korban menjadi tidak sadar. Organ-organ lain juga jelas akan mengalami gangguan jika terjadinya hipoksia.

Pada orang-orang yang memang sudah biasa tinggal pada daerah pada ketinggian atau daerah dengan kadar oksigen rendah, biasanya tubuh sudah dapat mentoleransi (mengadaptasi). Tetapi, adaptasi ini ada batasnya dan jika kondisi ini terus terjadi tetap akan membahayakan jiwa. Salah satu contoh kasus adalah musibah yang dialami oleh almarhum WAMEN ESDM ( Prof. Dr Widjajono Partowidagdo).

Beliau tewas saat mendaki Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat pada Sabtu (21 April 2012). Penyebab pasti kematian wamen yang baru bertugas selama enam bulan itu diduga karena sesak nafas akibat kekurangan oksigen. Faktor usia Widjajono (61) juga berpengaruh kuat. Karena pada umumnya orang dengan usia lanjut maka potensi terganggunya saluran di pembuluh darah sangat tinggi. Dengan aktivitas berat dengan medan pendakian yang sering kali ekstrim saat mendaki gunung ditambah pasokan oksigen yang tipis, hipoksia dapat berakibat fatal yakni kematian.

Namun menurut diagnose dr Phaidon L Toruan, sarjana kedokteran lulusan Universitas Padjajaran Bandung, dalam blognya menulis, Widjajono yang berpengalaman mendaki gunung Fuji, Himalaya, Kilimanjaro, tentu sudah mengukur dirinya saat sebelum pendakian ke Gunung Tambora di Kabupaten Dompu Bima engan ketinggian 2.850 mdpl.

Menurut Phaidon, sesak nafas yang dialami Wamen Widjajono bisa disebabkan oleh kurangnya oksigen dan bisa juga merupakan salah satu tanda serangan jantung. Dua gejala terkait gejala serangan jantung adalah Angina (rasa nyeri seperti ditekan di bagian dada), dan Aritmia (gangguan irama jantung yang dapat menyebabkan palpitasi ataudenyut jantung yang abnormal).

Kedua kondisi ini, Angina dan aritmia terjadi karena kurangnya pasokan darah yang membawa oksigen ke otot jantung. Biasanya diikuti oleh gejala lain seperti pusing, letih yang berkepanjangan, mual, berkeringat dingin, dan sesak nafas. Gejala tersebut merupakan pertanda awal serangan jantung. Hanya saja gejala tersebut dianggap sebagai masuk angin. Terlebih, kalau ada proses pendakian di gunung yang memang cuacanya dingin. Akibatnya pertolongan pertama seringkali terlambat diberikan.

Serangan jantung menghentikan suplai oksigen ke otot jantung menyebabkan otot-otot jantung akan mati sewaktu tidak mendapatkan darah. otot jantung beda dengan otot lain yang tidak dapat mengalami regenerasi. Kalau semakin lama gejala yang menunjukkan serangan ini tidak diatasi, akan semakin banyak kerusakan permanen pada otot-otot jantung dan bahkan jika terus dibiarkan dapat mengalami kematian.

Baca juga : cara mencegah dan mengatasi gejala HIPOTERMIA

Dalam konteks kejadian yang dialami Wamen ESDM, Phaidon menyebutkan dengan usia yang mencapai 61 tahun kapasitas fisik, termasuk fungsi jantung dan paru menurun. Apalagi jika tidak diimbangi dengan gaya hidup sehat.
Pertolongan pertama ketika menghadapi kondisi ini tentu saja dengan memberikan oksigen. Tabung oksigen berukuran kecil yang bisa dibawa ke mana - mana sangat mudah diperoleh di apotek dengan harga terjangkau, sehingga tidak ada salahnya para pendaki melengkapi diri dengan alat ini.

Jika tabung oksigen belum cukup menolong, maka semua pakaian harus dilonggarkan agar pernapasan menjadi lebih lancar. Kerah baju harus dibuka, ikat pinggang dilepas dan juga bra pada perempuan mau tidak mau harus dilepas supaya saluran napasnya tidak sesak.
Namun yang terpenting dari semua itu adalah, sesegera mungkin pendaki yang mengalami hipoksia harus dibawa ke lokasi yang lebih rendah supaya mendapat oksigen lebih banyak dari udara pernapasan. Makin lama berada dalam kondisi hipoksia, makin besar resiko kerusakan organ karena tidak mendapat suplai oksigen.

Daya tahan seseorang saat berada dalam kondisi hipoksia sangat beragam, salah satunya dipengaruhi oleh kadar sel darah merah serta hemoglobin. Orang - orang yang sehari - hari tinggal di gunung secara alamiah lebih tahan terhadap hipoksia karena sel darah merahnya lebih banyak. Untuk mencegah dampak buruk dari hipoksia, para pendaki gunung yang sebelumnya mengidap penyakit jantung, pernapasan clan sirkulasi darah dianjurkan untuk tidak mencapai ketinggian yang melebihi daya tahan tubuh,
Maka sebagai penutup mari kita semua para pendaki dan penggiat alam terbuka, sebelum mendaki gunung alangkah baiknya masing-masing kita agar terlebih dahulu memeriksa kondisi kesehatan tubuh kita .

#salamlestari


Posted by Estepe(@estetikaetikapendaki)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "HIPOKSIA"

Post a Comment