Hendry Dunant bapak palang merah dunia pernah mengatakan
“ .. sebuah Negara tidak perlu khawatir kekurangan stok pemimpin masa depan, selama anak mudanya masih suka bertualang di alam dan mendaki gunung…”
Saat beliau, Hendry Dunant mengatakan hal itu, tentu saja karena ia melihat apa saja yang bisa dilakukan, diperoleh, dipelajari, oleh seseorang yang memiliki kesukaan dan kegemaran mengarungi alam bebas dan merayapi puncak puncak tinggi. Dan karena menurutnya, kegiatan dan hobi semacam itu dapat membentuk sebuah karakter kepemimpinan yang tangguh, maka ungkapan beliau yang terkenal itupun keluarlah pada saat itu.
Yang menjadi pertanyaan kita sekarang, masih relevankan ungkapan seperti ini pada saat sekarang, pada zaman saat ini, ketika mendaki gunung seolah telah menjadi piknik weekend hampir setiap lapisan masyarakat, atau meminjam istilah sang legenda Reinhold Meisner, sudah menjadi semacam kindergarden area, alias taman bermain buat anak anak..?
Saya masih sangat yakin beberapa dekade yang lalu, kegiatan mendaki gunung dan sejenisnya ini masih sangat efektif untuk menjadi semacam barometer untuk melihat karakter seseorang, masih sangat efektif untuk menjadi semacam sekolah untuk mendidik seseorang individu untuk menjadi pribadi yang kuat, yang tangguh, yang disiplin, yang humble, yang setia kawan, yang cinta lingkungan, yang menyukai tantangan, yang biasanya mencumbui puncak puncak tinggi hanya untuk 3 tujuan paling populer, prestasi, mempelajari diri sendiri, dan untuk olahraga.
Dan sifat sifat yang mereka pelajari dalam keliaran alam bebas ini benar benar membentuk jiwa mereka, menjadikan inner strength dalam dirinya benar benar muncul. Contoh populer yang dapat kita lihat hasil dari didikan alam diantaranya adalah pemuda Bengal bernama Joe Simpson, si survivor dalam salah satu legenda mountaineering dunia, Touching The Void. Yang alam, yang hampir merenggut nyawanya menjadikan ia seorang yang disegani dalam kehidupan setelahnya, sebagai motivator, sebagai penulis, dan sebagai wirausaha.
Atau contoh lain datang dari pristiwa Miracle in Andes, si Nando Parrado, yang pada awalnya adalah seorang pemain baseball, dan dalam penuturannya sendiri, mengatakan bahwa ia mulanya bukanlah pribadi yang bisa diandalkan, namun pengalaman menyeberangi pegunungan Andes menuju Chili, dalam kebekuan udara dan terjangan badai salju, dalam kelaparan dan kehausan, membuat Nando Parrado selanjutnya menjadi pribadi dengan karakter tangguh sebagai pengusaha dan motivator.
Alam mendidik mereka dengan keras, walaupun pada contoh kasus diatas, mereka juga melakoninya karena terpaksa, karena pilihannya hanya dua untuk mereka saat itu, tetap bertahan, atau mati.
Tentu kita tidak berharap menghadapi kejadian sedemikan rupa agar alam dapat mengajarkan kita sesuatu, tidak banyak yang akan survive dalam keadaan seperti itu. Namun, mendaki gunung dengan melihat kaidah kaidah yang tersirat, dengan tujuan untuk mempelajari alam dan mengembangkan kemampuan diri, mencapai prestasi dan membanggakan negeri. Juga sedikit banyak akan membuat pengaruh yang tidak sedikit dalam diri kita, dan tentu saja pengaruh tersebut adalah hal yang positif.
Para pendaki gunung kekinian
Lantas bagaimana dengan para pengunjung puncak gunung yang sekarang…?
Sebelum kita berbicara lebih jauh, saya ingin menegaskan kembali bahwa pandangan ini merupakan opini saya sebagai salah satu pelaku kegiatan mendaki gunung, mungkin teman teman yang lain bisa saja memilki pandangan yang berbeda.
Dan ini pula, bahwa para pengunjung puncak gunung dangan bahasa kekinian yang saya maksud, bukanlah meletakkan mereka secara generalisasi, namun pada model dan jenis tertentu saja. Jadi semoga saja pendapat ini tidak disalah pahami sebagai sebuah pesimisme dan dan antipati pada slogan back to nature yang saat ini sedang digandrungi banyak orang.
Oke, tidak dapat kita pungkiri bahwa kemajuan tekhnologi mempengaruhi apapun bentuk aspek kehidupan kita saat ini, tidak terkecuali pada jenis kegiatan alam bebas seperti ini. Sisi baiknya tentu sangat banyak, misalnya dengan bermunculan bermacam produk penunjang kegiatan mendaki gunung yang lebih efektif dan efisien di lapangan, arus informasi juga menjadi sangat cepat seumpama terjadi hal diluar rencana di alam bebas, sehingga penanganan juga dapat lebih dipercepat.
Selalu ada sisi tidak baik, atau kurang baik dibalik sisi yang baik, dan sisi tidak baik yang juga menjadi trend saat ini, adalah yang erat kaitannya dengan hakikat dan tujuan mendaki gunung itu sendiri. Tidak perlu menepis, bahwa hampir diatas 60% hingga 70% para pengunjung gunung saat ini kemungkinan besar adalah para wisatawan / pelancong yang tujuannya adalah untuk tamasya. Didukung perangkat teknologi yang kian mumpuni, para pelancong lebih banyak berburu gambar atau foto ke gunung, daripada meresapi setiap langkah yang ia ayunkan menuju kesana.
Apalagi sosial media seperti facebook, twitter, istagram, dan lain lain, yang semakin hari, semakin menjadi gaya hidup yang wajib bagi generasi muda jaman sekarang. Keinginan untuk share tampaknya sudah mulai melebihi batas pakemnya. Hanya dengan menggeser beberapa command di layar android, poto yang baru saja diambil dapat langsung dibagikan dan dilihat orang lain secara realtime. Tidak bisa tidak, fenomena ini menjadikan keinginan untuk show up atau pamer, menjadi salah satu gaya hidup yang mewarnai generasi zaman ini.
Belum lagi jika melihat bagaimana “trace” yang ditinggalkan para pengunjung gunung itu, mulai dari sampah yang bertebaran di sepanjang jalur pendakian, sampah perut yang berhamburan dimana mana, coretan atau vandalisme memenuhi permukaan batu dan pepohonan, kertas yang bertuliskan kata kata yang kadang bikin mual berceceran diareal puncak, hingga kerusakan ekosistem yang dapat terganggu secara signifikan dalam kurun waktu tertentu karena prilaku mereka mereka ini.
Kesimpulannya dengan melihat berbagai macam gaya orang orang mendaki gunung saat ini, yang keinginan show up dan pamernya lebih besar, yang arogansinya lebih tinggi, yang persiapannya hanya sekedar uang dan materi, dan yang tujuannya hanya untuk menunjukkan eksistensinya di dunia media sosial, masih tepatkah ungkapan Hendry Dunant diatas…?
Masih adakah kita memiliki harapan akan adanya seoarang pemimpin berkualitas dari model generasi yang sekarang ini…?
Masih bisakan kita berharap, kekokohan puncak gunung, kelebatan hutannya, akan melahirkan jiwa jiwa ksatria dan pantang menyerah…?
Masih bisakah kita berharap, bahwa bebatuan yang menjulang, tebing cadas yang menghadang, dapat menempa generasi sekarang ini untuk menjadi karakter yang layak diteladani..?
Saya pikir kita tidak dapat berharap banyak lagi, namun bukan pula berarti kita akan putus harapan.
Yang bisa kita lakukan terus saat ini, mungkin adalah, terus berusaha mensosialisasikan kepada mereka, para pengunjung gunung dengan dandanan kekinian ini, bahwa kegiatan yang mereka lakukan itu bukanlah milik sembarang orang, bukanlah sekedar hobi menguras uang dan energi saja, itu adalah kegiatan super, kegiatan yang juga dapat menjadi sebuah sekolah hebat untuk mereka.
Mereka akan memperoleh manfaat yang jauh lebih daripada sekedar gambar bagus saja, manfaat yang jauh lebih besar, yang akan berhubungan dengan akan menjadi seperti apa pribadi mereka di kemudian hari, jika saja mereka mau mempelajari diri sendiri, berguru kepada alam dengan setulus hati, menjadikan perjalanan mereka sebagai kesempatan untuk berlatih, dan mengenal lebih dekat kepada Sang Pencipta Alam Raya ini, ketika mereka melakukan kegiatan yang mereka sebut mendaki gunung itu.
Mereka akan memperoleh lebih dari sekedar gambar, lebih daripada itu.
Posted by : Anton sujarwo
0 Response to "Tentang generasi pendaki gunung, kalimat ini sepertinya sudah tidak tepat lagi"
Post a Comment