SHELTER3-Sebuah surat dari seorang anak yang sangat ingin mendaki gunung dan meminta izin kepada bapak ibunya, bagus buat teman-teman yang belum di izinkan mendaki gunung oleh orang tua kalian. coba baca suratnya dibawah ini 🙂
Bapak dan Ibu yang baik,
Aku ingin mengajukan sebuah proposal yang sebelumnya sudah pernah kalian dengar. Bukan proposal pernikahan, bukan — karena yang satu itu jujur belum terlalu kupikirkan. Proposalku ini jauh lebih sederhana: tolong izinkan aku, sekali ini, mewujudkan mimpi untuk pergi mendaki.
Mimpiku itu tak pernah lenyap, Pak, Bu. Ia bersemayam di kepalaku sejak pertama kali kalian menolaknya dulu. Jujur, hingga saat ini aku pasti iri jika melihat foto teman-temanku yang tersenyum bangga sambil memegang papan bertuliskan nama gunung dan ukuran tinggi mdpl-nya. Ingin rasanya seperti mereka. Bukan sekadar demi “nampang” dan gaya-gayaan saja, melainkan justru karena aku begitu berhasrat menyaksikan indahnya alam Indonesia dan damainya negeri kita dari atas sana.
Sekarang teman-teman kembali berbaik hati mengajakku pergi. Jadi kuberanikan diri sekali lagi: kali ini, izinkan aku memulai perjalanan yang akan mengubah hidupku, dan membuatku jadi manusia yang lebih rendah hati.
"Banyak temanku yang tak mementingkan ada-tidaknya izin orangtua. Tapi jika restumu tak kukantongi, lebih baik aku tak pergi saja".
Bapak dan Ibu, restu kalian berdua adalah harga mati buatku. Jika itu tak berhasil kukantongi, baiknya aku tak usah pergi. Ini bukan soal berani atau pengecut — ini soal mewujudkan mimpi tanpa harus berhenti menjadi anak yang berbakti.
Andai aku mau, sebenarnya aku tak harus meminta izin kalian dulu. Toh banyak kok teman-temanku yang nekat pergi tanpa memberitahu orangtua mereka terlebih dahulu. Baru setelah pulang dari gununglah, mereka berani bercerita tentang pendakian mereka secara terbuka. Kekagetan dan kegusaran orangtua mereka tanggapi dengan santai, yang penting bisa melunasi mimpi pergi mendaki. Karena jika permisi di depan, mereka tahu mereka tak akan diizinkan.
Tapi aku enggan melenggang begitu saja tanpa seizin orangtua. Aku ingin pendakianku yang pertama ini kulalui dengan tenang, tanpa perlu khawatir apa yang ayah dan ibuku pikirkan andai mereka tahu apa yang sebenarnya kulakukan. Pergi tanpa izin orangtua bisa juga mempersulit diriku sendiri nantinya. Pemikiran ini mungkin berlebihan, tapi toh itu yang aku pegang.
"Kalian mungkin cemas aku celaka, tapi aku cukup tahu diri untuk tetap hati-hati. Toh, sukses-tidaknya pendakian justru ditentukan dari apa si pendaki bisa pulang dengan selamat."
Bukannya aku tidak sadar bahwa mendaki gunung bisa memakan korban. Sudah ada banyak pemuda seumuranku yang harus meninggal karena melipir dari jalur kemudian hilang, atau cuaca buruk yang tak disangka-sangka, atau mungkin hipotermia. Bahkan salah satu idolaku meninggal di bulan Desember 1969 di Gunung Semeru sana. Aku pun miris jika harus memikirkan betapa banyak talenta yang “sia-sia” karena pemiliknya harus mati muda.
Tapi aku tahu benar bahwa sukses-tidaknya pendakian tak hanya ditentukan dari apakah si pendaki bisa berhasil mencapai puncak. Lebih dari itu, gelar sukses baru “sah” disematkan jika si pendaki sampai rumahnya dengan selamat jiwa-raga. Tentu aku tak ingin gagal di pendakianku yang pertama ini.
Ayah dan Ibu harus tahu betapa panjang persiapanku. Tak hanya rutin lari setiap sore dan pagi, aku sampai menghafal jenis-jenis tanaman yang nantinya bisa aku makan seandainya aku tersesat. Obat-obatan darurat tak lupa kumasukkan ke dalam daftar bawaan. Aku tak ingin jadi pendaki yang kualat dan kewalahan karena kurang persiapan. Teman-temanku yang akan ikut dalam rombongan pun sebagian besar sudah pernah mendaki, dan jangan cemas, di antara kami ada yang laki-laki.
"Ini bukan tentang menaklukkan gunung sebab gunung terlalu agung untuk ditaklukkan. Ini tentang menaklukkan ego sendiri, dan menyadari betapa terbatasnya diri ini".
Aku tadi menyebut bahwa perjalanan ini akan mengubahku selamanya sebagai manusia. Mungkin Ayah dan Ibu menilai ini berlebihan adanya. Namun aku tidak main-main saat mengatakannya.
Saat mendaki nanti, zona nyamanku akan didobrak sekuat-kuatnya. Dengan kemampuan yang terbatas aku harus bertahan agar bisa terus berjalan. Sakit kaki dan kelelahan yang kurasakan hanya bisa diganjar istirahat yang sebentar. Setelah itu, aku dan kawan-kawan harus kembali melangkahkan kaki agar tak terlambat sampai ke pos info atau lokasi perkemahan.
Di gunung sana, Pak, Bu, aku akan belajar makna sebenarnya dari kerja sama. Bekal yang sebenarnya hanya cukup untuk satu orang saja harus rela kubagi untuk rekan setim yang kelaparan dan kelelahan. Aku yang sebenarnya sama capeknya harus berteriak menyemangati rekan-rekan lain agar mereka tak menyerah. Sebaliknya, ketika aku sudah tak benar-benar kuat lagi, aku tak boleh gengsi untuk meminta break pada pemimpin regu. Inilah yang kumaksud dengan mengetahui batasan-batasan kemampuan diriku.
Lebih jauh lagi, mendaki adalah suatu bentuk penghargaanku kepada Tuhan. Kaki dan tangan yang telah dianugerahkan-Nya padaku tak akan kusia-siakan dengan cuma bermalas-malasan. Aku menggunakan mereka sebagaimana kodratnya: bergerak demi kebaikan hidup manusia.
Perjalanan ini juga akan menyadarkanku betapa kecilnya diriku dibandingkan ciptaan-Nya yang lain di dunia ini. Dari puncak gunung yang berkerikil itu, aku akan diingatkan: betapa aku sebagai manusia hanya calon serbuk abu — remah-remah jika dibandingkan dengan kemegahan alam yang terbentang di depan mataku ini.
"Mendaki gunung tak kulakukan demi sekadar gaya-gayaan. Aku ingin menjalaninya untuk menguji kemampuan pribadi, dan menjadi manusia yang lebih baik lagi. Izinmu tak akan kusalahgunakan. Aku akan tetap menjaga kesopanan perbuatan, sampai tubuh ini kembali pulang".
Mungkin Ayah dan Ibu takut aku melakukan hal-hal yang tak boleh kulakukan di sepanjang pendakian. Tapi izin kalian tak akan pernah kusalahgunakan. Justru selama mendaki aku akan terus mengingatkan diri untuk menjaga perbuatan. Bagaimanapun, aku adalah tamu di situ. Harus menahan diri dari buang sampah sembarangan, mencorat-coret batu besar, mematahkan ranting dan mengambil kerikil “untuk kenang-kenangan”, lebih lagi perbuatan-perbuatan lainnya yang kiranya melanggar norma kesopanan.
Mendaki gunung tak kulakukan demi sekadar gaya-gayaan. Aku ingin menjalaninya untuk menguji kemampuan pribadi, dan menjadi manusia yang lebih baik lagi. Izinmu tak akan kusalahgunakan. Aku akan tetap menjaga kesopanan perbuatan, sampai tubuh ini kembali pulang.
Mungkin Ayah dan Ibu takut aku melakukan hal-hal yang tak boleh kulakukan di sepanjang pendakian. Tapi izin kalian tak akan pernah kusalahgunakan. Justru selama mendaki aku akan terus mengingatkan diri untuk menjaga perbuatan. Bagaimanapun, aku adalah tamu di situ. Harus menahan diri dari buang sampah sembarangan, mencorat-coret batu besar, mematahkan ranting dan mengambil kerikil “untuk kenang-kenangan”, lebih lagi perbuatan-perbuatan lainnya yang kiranya melanggar norma kesopanan.
"Di atas sana, aku tetap anak kalian, dan nilai-nilai yang selama ini sudah susah payah kalian tanamkan akan terus aku pegang".
Semoga keberanianku meminta izinmu tak sia-sia. Aku sudah rindu, Bu, menyambut panggilan sang raksasa dan menjamahi puncaknya yang memesona
Semoga setelah ini Ayah dan Ibu bisa mengikhlaskan hati untuk mengizinkanku pergi. Menapakkan kaki di atas dataran tinggi yang terus menanjak dan berkelok-kelok tanpa ampun, menghalau dinginnya malam dengan jaket dan sleeping bag sekenanya, memakan mie rebus dan kornet demi mengecas energi ala kadarnya, dan kembali ke kota dengan rasa lelah dan bengkak-bengkak di kaki.
Apa sih enaknya naik gunung? Sekarang kalian bertanya. Tapi mana bisa aku benar-benar memberi jawabannya, Pak, Bu, jika aku belum pernah melakukannya? Jadi boleh ya, sekali ini, aku pergi mendaki? Aku berjanji akan memberikan jawaban paling lengkap sekembalinya nanti. Jawaban menyenangkan yang bisa membuat kalian berhenti khawatir lagi.
Dari anakmu,
Yang begitu ingin mendaki sampai pernah terbawa mimpi.
#SALAMLESTARI
Posted by : Explorergunung
0 Response to "IZINKAN ANAKMU MENDAKI GUNUNG"
Post a Comment