Jika anda seorang pendaki muslim, sungguh sungguh seorang muslim. Kira kira apa yang akan anda rasakan ketika pada sebuah perjalanan pendakian gunung yang anda lakukan, disebuah pos atau di sebuah perhentian yang hening dan sepi, anda menjumpai seorang pendaki, ataupun beberapa orang yang sedang melaksanakan sholat dengan khusyu’ dan khidmat..?.Yakinnya adalah perasaan haru, indah dan damai yang merasuk ke dalam relung kalbu anda, perasaan salut, kagum pada orang yang melaksanakan sholat, walaupun itu adalah kewajiban bagi setiap muslim pada hakikatnya.
Apa yang kita rasakan pada moment itu sungguh berbeda, jika dibandingkan dengan sewaktu kita menemui seseorang atau sekelompok orang sedang sholat di masjid atau di langgar. Mengapa ini bisa terjadi ?, bukankah mereka sama sama sholat, sama sama ruku’ dan sujud ke haribaan Allah Yang Maha Perkasa, sama sama menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim.
Moment inilah, perasaan semacam inilah, dan suasana seperti inilah yang ingin saya sebutkan sebagai sebuah spiritualitas pendakian, ketika kita menemukan diri kita sangat kecil, laksana sebuah titik dalam lautan tinta, kemudian memunculkan kerinduan Ilahiah kepada Sang Khalik, kerinduan kepada Allah Sang Maha Pencipta langit dan bumi. Dan tentunya kerinduan inipun akan menggiring kita pada sebuah makna pendakian secara sempurna, bukan hanya sebagai perjalanan menuju titik tertinggi dari sebuah gunung, bukan hanya sebagai ajang reuni dan canda tawa bersama teman, namun memberi pengertian yang lebih dalam lagi, yaitu sebagai sebuah perjalanan ta’aruf kepada Sang pemilik alam raya.
Jika ditilik dari tujuan sebuah perjalanan pendakian gunung, maka semestinya sebagai seorang muslim, niat kita letakkan pada dasar setiap kegiatan, termasuk juga pendakian gunung ini. Memang ada banyak sekali alasan mengapa seseorang melakukan sebuah perjalanan pendakian, dari yang sekedar hobi dan kesenangan, life style, refreshing, liburan, hingga yang sekedar untuk hura hura. Niat menjadikan kita berbeda secara makna, walaupun dari sisi teknis pelaksanaanya sama. Dan niat ini juga yang menjadikan apakah perjalanan pendakian yang kita lakukan ini bernilai ibadah atau hanya sebuah perjalanan hura hura semata.
Sekarang coba kita ambil renungan tentang pristiwa sebuah kematian di gunung, seperti yang terjadi pada Soe Hok Gie dan Idnan Lubis di Semeru, seperti pada tragedi Everest 1996 yang merenggut nyawa 8 orang pendaki dalam 1 hari, yang dua korbannya adalah guide gunung kelas dunia, Scott Fischer dan Rob Hall. Tragedi itu digambarkan dengan apik dalam film Into Thin Air, berdasarkan cerita salah satu tokoh yang selamat dalam pristiwa tersebut yaitu John Krakauer. Kemudian ada dua orang legenda dari Indonesia, Norman Edwin dan Didiek Syamsu yang tewas saat mencoba meraih puncak Aconcagua di di Andes. Dan di Indonesia saja, Mahameru, Rinjani, Merapi, Cartensz, Leuser, hingga Latimojong di Sulawesi sudah ada puluhan nama pendaki yang berakhir kisah hidupnya digunung gunung tersebut. Lalu jika kita ingin meneliti lebih banyak lagi, maka sudah ada ribuan orang yang telah meregang nyawa dalam perjalanan pendakian gunung di seantero planet ini.
Tak perduli seberapa hebat anda mendaki, dan seberapa bagus peralatan anda, ketika kematian datang menjemput di gunung, anda hanya sesosok mayat tak berdaya.
Sedangkan dalam islam, jika seseorang meninggal dunia, maka hal ini bukanlah akhir “hidupnya”. Kehidupan jiwanya akan terus berlanjut dalam alam barzakh atau alam kubur, kemudian di alam akhirat. Dan suasana di alam tersebut 100% bergantung kepada bagaimana seseorang yang telah meninggal secara lahiriah itu, menjalani kehidupannya di dunia ini, yang beriman, baik dan beramal shaleh tentunya akan memperoleh kenikmatan, sementara yang tidak beriman, pendosa dan jahil juga akan memperoleh ganjarannya secara setimpal.
Ada tiga rahasia besar tentang kematian yang hanya Allah SWT sajalah yang tahu, yang pertama adalah kapan kematian akan menjumpai kita, yang kedua adalah dimana kita akan mati, dan yang ketiga adalah bagaimana caranya kita mati. Ketiga pertanyaan ini adalah rahasia abadi sepanjang masa. Namun, yang harus kita lakukan bukanlah mencari jawaban pertanyaan itu, karena jawabannya pun tidak akan pernah kita temui. Yang harus kita lakukan adalah preparing atau mempersiapkan diri menghadapinya, terlebih menghadapi kehidupan setelah kematian itu.
Hakikat spiritualitas pendakian gunung tercermin jelas dalam ucapan Kareem Nasher, salah seorang pendaki muslim, anggota rescuer mencari pendaki yang hilang terjebak badai avalance di gunung tersulit di dunia K2, dalam film fenomenal Vertical Limit.
“ Kematian tidaklah penting temanku.., apa yang kita lakukan sebelum kita mati itulah yang terpenting...”
Kurang lebih demikianlah kalimat Kareem Nasher waktu itu, ketika rekan rescuernya mengejeknya saat ia melaksanakan sholat di jalur punggungan bersalju yang mereka tempuh.
Bagi para pendaki gunung dan penikmat film, akhir ceritanya sudah kita hapal bersama bahwa Kareem Nasher dan rekannya itu juga tewas, karena kecelakaan yang disebabkan oleh ledakan tabung nitro yang mereka bawa bereaksi dengan panas matahari.
Tokoh Kareem Nasher pada film Vertical Limit
Pada alur cerita film Vertical Limit, penokohan Kareem Nasher lah yang paling membekas di ingatan saya, walaupun ia tampil hanya di beberapa adegan saja. Bukan Tom, Wick atau yang lainnya yang menjadi tokoh utama. Dan menurut saya beginilah seharusnya seorang pendaki itu, khususnya yang beragama islam.
Pendiri Palang Merah Internasional ( PMI ), Henry Dunant mengatakan “ sebuah negara atau bangsa tidak perlu khawatir kekurangan pemimpin, jika anak mudanya masih suka bertualang dan mendaki gunung..”. Memang demikian semestinya, ketika seseorang suka bertualang dan mendaki gunung, jiwa kepemimpinannya terasah dan terbentuk secara bertahap, saya juga merasa hal itu terjadi pada diri saya pribadi. Namun yang menjadi pertanyaan adalah , pendakian dan petualangan seperti apa yang dapat mendidik seseorang menuju kepemimpinan dan seorang pribadi yang tangguh ?.
Mungkin kita semua pernah mendengar kisah Nando Parrado dalam Alive atau Miracle in Andes, atau kisah tragis dan mengharukan Joe Simpson dalam Touching the Void, dan yang paling anyar di filmkan adalah kisah Aron Ralston’s dalam film 127 hours. Jika kita mencermati latar belakang beberapa tokoh dalam film kisah nyata tersebut, maka semuanya sama. Bahwa tokoh utama yang menjadi pencerita, pada mulanya adalah sosok yang nakal, bandel dan asal sebelum mereka memperoleh pengalaman yang mengubah hidup mereka 180 , setelah memperoleh pengalaman “pahit dan menyakitkan “ dalam petualangan yang banyak merenggut kebahagiaan mereka sebelumnya, barulah mereka berubah menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab, tangguh, optimis dan kuat dalam kehidupan sehari harinya.
Namun kita tidak perlu bercita cita untuk memperoleh pengalaman serupa yang akan mengubah hidup kita, proses menjadi pribadi yang tangguh, bertanggung jawab, optimis dan kuat secara mental dapat kita pelajari tanpa harus memotong tangan seperti Aron Ralston’s, tanpa harus memakan mayat teman sendiri seperti Nando Parrado, juga tanpa harus merayap sejauh hampir tiga kilometer dengan kaki patah seperti yang Joe Simpson lakukan dalam Touching the Void.
Proses menjadi pribadi yang unggul itu, salah satunya caranya dapat kita pelajari dengan melakukan pendakian gunung seperti hobi kita selama ini. Hanya saja, seperti yang telah kita bicarakan di awal bahwa niatnya juga harus di perbaharui, bukan hanya sebagai sekedar olahraga petualangan, liburan dan refreshing semata, namun juga menjadi sebuah metode pembelajaran kita untuk mengenal alam, diri kita sendiri, dan tentunya untuk lebih mengenal Allah Yang Maha Tinggi.
Pendakian gunung yang “ lebih dari sekedar mendaki ”, dapat menjadi jalan untuk lebih mendekatkan diri dan bermakrifat kepada Allah SWT.
Orang akan kesulitan untuk menemukan dirinya sendiri dalam pendakian gunung jika ia mendaki dengan hura hura, kesombongan, egoisme, gengsi dan sikap masa bodoh. Apatah lagi jika pendakian nya di warnai dengan minuman keras, konsumsi barang haram dan perbuatan buruk lainnya, adalah omong kosong tingkat tinggi jika ia mengatakan mencintai alam namun ia melakukan hal tersebut. Karena pada hakikatnya usaha mencintai alam bermuara pada mengenal dan mencintai sang pemilik alam, yaitu Allah SWT. Agak sulit rasanya kita akan mendapatkan nuansa yang akan membawa perasaan kita pada perenungan tentang alam raya jika saat melakukan pendakian kita dalam sorak sorai dan gemuruh hiruk pikuk yang melenakan.
Rasullullah Muhammad SAW pun mendapatkan wahyu pertama dari sisi Allah SWT melalui malaikat Jibril, juga sebelumnya telah melalui perenungan yang dalam tentang konsep penciptaan alam semesta, seperti yang juga yang dilakukan oleh nabi Ibrahim AS. Baginda Rasullullah ber tahannuts di gua Hira’ sekian lama sebelum Allah SWT mengutus malaikat Jibril AS untuk menyampaikan wahyu pertama-Nya.
Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah
Bacalah, Dan Tuhan-mulah Yang Maha Mulia
Yang mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam ( pena )
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak di ketahuinya...
( Al- qur’an, Al’alaq, 1 – 5 )
Dan pengertian Iqra’ : Bacalah, pada ayat diatas bukanlah semata mata membaca seperti pengertian harfiah yang kita fahami, namun membaca yang dimaksud adalah juga mencakup, melihat, memperhatikan , mendengar, merasakan, mengamati, memikirkan dan merenungi jagad raya ciptaan Allah Sang Khalik. Kita diminta oleh Allah SWT untuk merenungi kejadian alam semesta ini, bagaimana bumi dihamparkan, gunung di tegakkan, dan langit ditinggikan, agar kesemuanya ini membawa kita pada bentuk kesadaran tentang betapa Maha Perkasanya Allah dan Maha Agungnya Allah. Dengan kesadaran semacam ini, kesombongan dan keangkuhan kita sebagai manusia yang merasa hebat dan merasa kuat akan dapat segera dikikis.
Gunung gunung juga adalah ayat ayat Allah SWT yang harus kita “baca”.
Cobalah ketika kita sedang berdiri di puncak Mahameru, Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro atau di puncak manapun, tengoklah ke bawah, ke bentangan muka bumi yang seperti tak berujung di bawah sana, adakah kita melihat sosok camat, bupati, gubernur, presiden, raja, diktator atau siapapun mereka yang berkuasa itu..? Tidak kan, istana mereka pun tak kelihatan. Lalu dengan melihat betapa kecilnya seorang manusia, bahkan presiden dan raja sekalipun, lantas mau kita letakkan dimana kesombongan dan keangkuhan yang selama ini bercokol dihati kita..?
Saya secara pribadi lebih suka mendaki gunung secara solo, tentunya untuk gunung yang ketegorinya aman didaki secara solo. Salah satu alasan terbesar saya suka mendaki gunung secara solo adalah suasana yang diperoleh saat melakukan aktifitas tersebut, bagaimana rasa takut, khawatir, kecil, tak berdaya selalu menjadi motivasi untuk membuat langkah tetap bergerak. Semua ketakutan dan rasa terberdaya membuat saya merasa sangat kecil saat melangkah di punggungan gunung dan tebing tebingnya, dan perasaan kecil itu otomatis membuat saya menyandarkan diri pada kekuatan yang lebih besar, dan kemana lagi kita mencari kekuatan yang lebih besar kecuali kepada Allah SWT, hanya Allah lah Pemilik segala kuasa dan kekuatan.
Kegiatan mendaki gunung jika di lakukan dengan penuh penghayatan sebagai salah satu wujud Iqra’ kita kepada ayat ayat Allah SWT, akan sangat berdampak pada pembentukan karakter manusia unggul yang pantang menyerah, berjiwa besar dan tangguh. Karena itu marilah mulai sekarang, selain sebagai ajang petualangan dan liburan, kegiatan pendakian yang kita lakukan, juga kita niatkan sebagai sebuah kesempatan untuk bermuhasabah, melihat kembali kedalam diri kita sendiri, sudah seberapa bermanfaatkah kita untuk lingkungan dan alam, mengkoreksi langkah langkah yang telah kita ambil selama ini, sudah cukup baikkah, atau belum.
Dan ketika kita semakin sering melakukan pendakian dengan niat dan tujuan demikian, maka bahkan tanpa kita sadari sekalipun, perlahan lahan, keheningan dan kesunyian pegunungan mengantarkan kita kian dekat dengan kerinduan kepada Sang Khalik, Allah SWT, Tuhan Sang Pemilik Jagad Semesta.
***
Posted by : Anton sujarwo
0 Response to "Spiritualisme Pendakian"
Post a Comment