loading...
loading...

DEWA ATAU BUKAN, PENDAKI GUNUNG TIDAK DAPAT DIUKUR DARI GEARSNYA


Tadi pagi saya membaca sebuah blog yang ditulis salah seorang pendaki gunung Nusantara, konten blog itu diberi judul Pendaki dewa vs pendaki minimalis, demikian kalau saya tidak salah mengingat.

Dalam tulisan tersebut sang sahabat menjabarkan secara terperinci, segala bentuk perbedaan, keunggulan, kekurangan, dan juga seluk beluk pilihan menjadi seorang pendaki dewa atau pendaki minimalis. Dalam tulisan itu juga teman tersebut menyampaikan pesan untuk masing masing jenis pendaki yang disebut dewa dan juga minimalis.

Saya suka tulisannya, sehingga saya juga tergoda untuk menulis hal yang sama dengan mungkin dengan sudut pandang yang berbeda.

Saya sebenarnya agak risih juga mendengar sebutan dewa dalam istilah dunia pendakian gunung, apalagi hal ini disematkan semata mata karena faktor brand atau merek perlengkapan yang digunakan sang pendaki, terlalu berlebihan rasanya. Mungkin jika tidak menyinggung banyak pihak, saya ingin mengatakan, penggunaan kata dewa dalam kaitannya dengan dunia per-naik gunungan, terdengar sangat lebay alias berlebihan. 

Seseorang tidak serta merta dapat disebut dewa karena bajunya, karena sandalnya, karena sepatunya, karena tasnya, atau pun karena tendanya. Penggunaan kata Dewa dalam dunia pendakian gunung, rasanya hanya satu orang saja di dunia ini yang kelihatan pantas menyandangnya, yaitu si Reinhold Messner, mountaineer dari Italia yang mengokohkan dirinya sebagai orang pertama di dunia yang berhasil menyelesaikan pendakian 14 puncak gunung diatas 8000 mdpl tanpa bantuan tabung oksigen, orang pertama yang mendaki gunung Everest secara solo, dan juga tanpa tabung oksigen, dan juga orang kedua di dunia yang berhasil menjadi seven summiters, berada satu tingkat di belakang Pat Morrow yang menjadi the first seven summiters.

Meskipun dari sisi prestasi, tampaknya Mbah Messner ini memang layak di beri gelar Dewa, sebagai bentuk rasa penghormatan terhadapnya, namun beliau sama sekali tidak menyukai julukan yang berlebihan ini.

“… If someone says, if I’m a the greatest in a world of mountaineering, he / she is nothing idea about that…, “ 


Gears adalah pendukung, bukan jati dirimu

Sama seperti seseorang yang ingin dihormati dan disegani karena menunggangi mobil mewah, seseorang yang terlalu mendewakan gears atau perlengkapan tidak jauh berbeda demikian. 

Beberapa di antaranya seakan ingin menunjukkan strata sosialnya dikalangan para pendaki yang lain,  sengaja menbuat semacam exhibitions di puncak puncak gunung, mempertontonkan semua yang ia miliki, gears inilah, gears itulah, brand anulah, import dari negara sonolah, dan semacamnya. 

Lalu tanpa ia sadari, nilai nilai sosial dalam dunia pendakian gunung yang semestinya bisa ia serap dengan baik, malah akan terkontaminasi dengan aneka macam sikap riya, pamer, dan cenderung menganggap hebat diri sendiri.


Menilai seseorang hanya dari perlengkapan yang mereka gunakan, bukanlah cara pandang yang bijaksana

Ironisnya lagi, jika yang dianggap sebagai satu satunya penunjang ke-populerannya hanya gears bermerek saja, lantas bagaimana jadinya jika semua barang bagus dan mahal itu hilang dari tangannya, akankah ia masih populer, akankah ia masih dihormati, akankah ia masih dianggap dewa..?

Kelakuan semacam tentu bukan hal yang bagus dan bisa dijadikan panutan. Dan mohon maaf  jika saya harus mengatakan, orang orang yang mungkin ada, dan menganut faham ini, sepertinya tidak lebih dari orang yang terjangkit virus selfish dan haus pujian, yang saat ini memang sedang mewabah dengan hebat dalam setiap sendi kehidupan kita. 

Dan sebaliknya pula, orang orang yang seolah seolah menganggap pendakian gunung hanya masalah otot dan tenaga, memandang remeh terhadap fungsi gears dan peralatan, juga bukan jenis pendaki yang bagus.

Semua perlengkapan pendakian gunung, apapun mereknya, didesain dan dibuat, tentunya dengan tujuan untuk memudahkan dan membantu para pendaki gunung dalam aktifitas mereka. Jadi memandang sebelah mata, mengacuhkan aturan standar pendakian gunung yang berhubungan dengan fungsi sebuah alat dan perlengkapan, tentu bukan tindakan orang cerdas. 

Seharusnya prinsip lama tentang kegunaan perlengkapan, tidak diabaikan oleh orang orang yang mungkin merasa masuk dalam kategori pendaki minimalis ini.

“… Jangan menyepelekan apa pun di gunung, ransel kita adalah gudang kita selama mendaki, jadi apa pun yang kita perlukan selama proses pendakian, sebaiknya tersedia di dalam tas ransel yang kita bawa…”

Saya setuju sekali dengan salah satu saran tersebut, bahwa memang segala keperluan yang kita butuhkan harus ada dan tersedia di ransel yang kita bawa. Jangan mengandalkan orang lain dengan memang mempersiapkan diri untuk nebeng, atau menumpang pada perlengkapan orang lain. Selain kurang bagus, hal itu juga membuat kesan kurangnya persiapan kita dalam mendaki sebuah gunung.

Trend UL atau ultralight memang secara spesifik mengkhususkan untuk mendaki gunung / hiking dengan menggunakan seminimal mungkin gears, meninggalkan peralatan yang mungkin tidak akan diperlukan selama proses pendakian, atau menggunakan barang yang sama untuk multifungsi, seperti sebuah jaket yang mungkin bisa jadi sleeping bag, bisa jadi shelter darurat, dan bisa pula menjadi sebuah raincoat, sehingga barang lain yang fungsinya sama, bisa digantikan dengan cukup membawa satu barang saja.

Ultralight hiker & Traditional hiker

Ultralight adalah berusaha semaksimal mungkin meminimalkan bobot dan jumlah barang yang dibawa, yang mungkin juga akan sedikit mengurangi kenyamanan sang pendaki.

Namun untuk urusan safety procedure atau keamanan, trend ultarlight yang benar, tetap tidak mengenal kompromi, perlengkapan yang memenuhi standard keamananan dan memiliki tingkat proteksi yang maksimal yang tetap dianjurkan. Jadi kita jangan salah persepsi dengan menganggap trend ultralight hiking sebagai suatu gaya mendaki yang minimalis tanpa membawa gears dan perlengkapan yang dibutuhkan.

Sekali lagi, peralatan dan gears dibuat untuk membantu aktifitas pendakian itu sendiri, membuat sang pendaki lebih nyaman, lebih aman, dan juga lebih efektif dan efisien dalam pergerakan dan mencapai tujuannya. Namun memuja muja sebuah gears secara berlebihan juga bukan tindakan yang tepat, gears hanyalah sebauh alat bantu, bukan jati diri kita.

Yang lebih mahal, belum tentu cocok untuk kita

Beberapa waktu terakhir, sejak trend mendaki gunung dan back to nature menjadi life style anak muda negeri ini, arus berbagai macam produk brand outdoor import menyerbu Indonesia, mulai dari produk yang populer di Eropa, Amerika, Asia, sekarang mulai banyak kita lihat bertaburan di berbagai forum  jual beli dengan harga yang cukup menguras kantong. 

Dan beberapa brand inilah, yang oleh sebagian orang disebut sebagai gears dewa, karena mahal dan standard fungsionalnya yang lebih baik dibanding yang lain. 

Tidak bijaksana jika memaksakan diri untuk membeli dan menggunakan suatu brand yang masuk kategori “dewa” itu, tanpa mempertimbangkan dengan matang fungsionalnya secara seksama. Suatu merek yang lebih mahal, bisa jadi bukan yang terbaik dan cocok untuk kita gunakan, jangan memaksakan diri hanya karena beberapa orang secara berlebihan menganggapnya sebagai merek dewa. 

Saya pernah secara pribadi memaksakan diri menggunakan sebuah backpack yang katanya paling gress dan limited di suatu ketika, meskipun sejak diberi beban dan digunakan pertama kali, saya sudah tidak merasa comfort, namun karena ini adalah backpack limited dan branded, saya paksakan juga untuk menggunakannya selama beberapa hari. Hasilnya, selama perjalanan saya sama sekali tidak merasa nyaman, kesempatan untuk menikmati banyak view selama perjalanan, terganggu dengan rasa risih karena memaksakan diri menggunakan backpack yang tidak sesuai untuk saya, meskipun mereknya masuk kategori list dewa buat orang lain.

Dan yang terakhir, pertimbangan utama dan paling penting dalam memilih sebuah gears untuk dibeli adalah, sesuaikanlah dengan kemampuan. Jangan tertalu heroik mengukur sesuatu hanya berdasarkan merek dan gaya, kita tidak hidup di sana. 

Jika memang kemampuan ada, tidak ada salahnya menggunakan yang mahal mahal, namun jika situasi financial belum memadai, sebaiknya jangan terlalu memaksakan diri.


Jadilah pendaki yang humble dan rendah hati

Apa pun brand peralatan mendaki yang kita miliki, seberapa pun mahal harganya, sebanyak apa pun kita mengoleksinya, sehebat apa pun pamor dan gengsinya, selalu be a humble, jadilah orang yang rendah hati. Sesekali kita perlu mengganti kaca mata dengan sudut pandang orang lain, agar kita bisa memahami bahwa, tidak semua orang dianugrahi kemampuan membeli gears mahal dan bermerek yang mungkin saja, seperti yang kita miliki.

Pun untuk orang orang yang terlau percaya diri dengan kemampuan fisik dan tenaga semata, sehingga memandang enteng fungsi sebuah gears, jadilah bijaksana, jangan menambah pekerjaan tim SAR dengan arogansi dan sikap bodoh yang kita paksakan.


Apa pun pilihan cara bertualang anda, try to be a humble hiker

Saya juga adalah orang suka mendaki gunung, dan juga berjualan beberapa barang barang keperluannya di www.tokoarcopodo.com, namun, saya bahkan tidak memiliki perlengkapan mendaki pribadi yang super komplit dan branded. ( kalau memaksakan diri menggunakan gears bermerek semua kan bisa merusak kantong buat jualan, smile ).

Sekali lagi, be a humble hiker, jadilah pendaki yang rendah hati, jangan mengukur seseorang dari pakaian yang mereka kenakan. 

Gears dewa atau bukan, branded atau tidak, diimport atau lokal, seorang pendaki gunung tidak dapat diukur dari gearsnya, itu hanya alat dan perlengkapan, dan itu bukan jati diri mereka.





Posted by : Anton Sujarwo






Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "DEWA ATAU BUKAN, PENDAKI GUNUNG TIDAK DAPAT DIUKUR DARI GEARSNYA"

Post a Comment